Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus tertekan. Bahkan sudah sempat tembus Rp 11.000 per dolar. Siapa bakal tersenyum?
Salah
satu penyebab utama adanya tekanan terhadap kurs rupiah adalah akibat
tingkat permintaan terhadap dolar naik. Hal itu disebabkan oleh rencana
bank sentral Amerika, Federal Reserve, yang ingin mengurangi stimulus
moneter, yang selama ini dilakukan melalui pembelian surat utang.
Stimulus
itu dilakukan guna menyuntik pasar dengan likuiditas dolar. Sesuai
hukum ekonomi, pasokan dolar yang makin banyak membuat nilainya turun.
Dengan begitu, perekonomian tetap bergairah.
Ketika
kebijakan tersebut ingin dikurangi, maka ramai-ramai para investor
membeli dolar sebelum nilai valuta ini terus naik. Hal itu dilakukan
guna mengantisipasi rencana otoritas moneter Amerika betul-betul
dijalankan.
Akibatnya, para investor asing dari negara maju mulai
mencairkan investasinya di emerging market – negara berkembang dengan
pertumbuhan pesat. Dana di pasar keuangan keuangan termasuk saham, yang
jadi sasaran mereka untuk dijual. Dana hasil penjualan aset itu,
kemudian dibelanjakan dolar.
Selanjutnya adalah mata uang
sejumlah negara tempat para investor asing mencairkan asetnya termasuk
Indonesia, ikut melemah. Ini sekaligus membuktikan bahwa rupiah begitu
rentan terhadap tingkat permintaan dolar.
Bersamaan dengan
melemahnya rupiah ini, para importir atau dunia usaha pengguna bahan
baku yang dibeli dengan dolar bisa dipastikan merintih. Apalagi kalau
menjual produknya dengan rupiah.
Terkait dengan hal, harga
barang-barang dengan kandungan impor besar, apalagi didatangkan utuh
dari luar negeri, bakal naik. Daya beli berpotensi turun, sehingga
menjadi pukulan tambahan bagi dunia usaha.
Kendati demikian, ada
juga yang tersenyum senang dengan melemahnya rupiah ini. Siapa saja yang
berpotensi mendapat untung? Setidaknya ada tiga kelompok:
Pertama,
sudah tentu para eksportir. Mereka menerima pembayaran atas barang yang
dijual dengan kurs dolar. Sehingga pendapatannya ketika dikonversi ke
rupiah serta-merta bakal bertambah. Apalagi jika ongkos produksinya
menggunakan standar rupiah, seperti pada sektor pertambangan atau
perkebunan. Tentu keuntungannya makin melimpah. Kocek mereka tentu bakal
tambah tambun.
Kedua, yang berpotensi besar mendapatkan untung
adalah investor pada surat utang negara yang dikeluarkan dalam mata uang
rupiah. Imbal hasilnya akan bertambah tinggi, karena harganya makin
melorot di bawah harga awal.
Dari catatan Penilai Harga Efek
Indonesia atau Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) misalnya, imbal
hasil (yield) untuk surat utang negara berjangka waktu 10 tahun, imbal
hasilnya sudah naik. Pada Rabu (21/8), posisinya ada di 8,3896 persen
dari sehari sebelumnya yang 8,2964 persen. Tentu makin lama jatuh
temponya, makin besar kenaikan imbalannya.
Ketiga, seperti pernah
disampaikan oleh manajemen Bank BTN, harga apartemen atau hunian kelas
atas bakal naik. Karena itu, bank plat merah yang mayoritas bermain di
hunian kelas bawah itu bakal meraup limpahan. Begitu pun dengan lembaga
pembiayaan lain yang berpartisipasi di kelas serupa.
Walaupun
sebenarnya, para pembeli properti tidak langsung pindah begitu saja.
Apalagi, ketika kurs melemah, biasanya bank sentral menaikkan suku
bunga. Ini berupa insentif bagi pemegang rupiah, sehingga mata uang
tersebut tetap bernilai.
Akibat kenaikan suku bunga ini, tentu
bunga kredit juga bakal naik. Karena itu, kemungkinannya bisa pindah
beli properti menengah ke bawah atau bisa juga menunda waktu pembelian.
Tapi
setidaknya, melemahnya rupiah tidak melulu berarti musibah. Tiga
kelompok ekonomi di atas tetap berpotensi menangguk berkah.
Herry Gunawan, Pendiri Plasadana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar